Keluarga terkait Diponegoro - Situs Web Kepustakaan Pahlawan Indonesia

Detail Cantuman

Keluarga

Nama:

Pangeran Alip

Hubungan Keluarga:

Putra Pangeran Diponegoro dan R.A. Citrowati

Riwayat:

Pangeran Alip / R.M.Singlon/ R.M Sodewo / Ki Sodewo/ Demang Notodirjo. Awal tahun 1810 Pangeran Diponegoro menikah dengan Raden Ayu Citrowati putra Tumenggung Ronggo Prawirosentiko di kawasan Brangwetan. Pernikahan dilangsungkan di wilayah perbatasan Gunung Kidul dan Pacitan ketika Pangeran Diponegoro melakukan pengembaraan. Belum sempat diperkenalkan dengan keluarga di Jogja, Raden Ayu Citrowati meninggal dalam kerusuhan di Madiun lama atau Maospati, setelah dia melahirkan Pangeran Alip. Putera Pangeran Diponegoro yang masih bayi tersebut kemudian dibawa oleh sahabat Pangeran Diponegoro yang bernama Tembi menyusul ke tempat Pangeran Diponegoro bertapa di Gua Cerme atau yang sekarang dikenal dengan Gua Selarong. Sebutan Ki Tembi sebenarnya bukanlah nama yang sebenarnya. Ki Tembi berasal dari kata seorang laki-laki yang berasal dari Patemben atau tempat menitipkan anak. Dalam kebiasaan di kalangan keluarga kerajaan, anak-anak bayi biasa dititipkan untuk disusukan kepada keluarga para abdi di sebuah tempat kusus. Nama tempat tersebut dalam bahasa jawa adalah Patemben. Pada saat itu tidak mungkin Pangeran Diponegoro membawa bayi tersebut pulang ke Tegalrejo karena tidak ada pengasuh di sana karena isteri tertuanya juga tengah mengasuh anak kecil, begitu juga dengan isteri ketiganya. Sedangakan isteri keduanya yang dari trah ningrat lebih banyak tinggal di istana. Atas permintaan Pangeran Diponegoro anak tersebut dititipkan kepada Ki Tembi untuk diasuh dan dibesarkan. Agar tidak diketahui oleh siapa-siapa Ki Tembi disuruh memberi nama singlon . Singlon artinya samaran atau sembunyi (hiden). Bayi yang baru beberapa minggu lahir dan ditinggal mati oleh ibunya ini perlu disembuyikan karena Pangeran Diponegoro mempunyai firasat bahwa anak tersebut kelak akan menjadi prajurit yang hebat, maka perlu disembuyikan dan mendapatkan pendidikan khusus. Perintah kepada Ki Tembi adalah : ????½Jenengono singlon ben ora konangan Londo (berilah nama samaran agar tidak ketahuan Belanda)????½ sehingga dia disebut Raden Mas Singlon. Jadi nama Singlon sendiri sebenarnya bukan nama resmi, tetapi nama panggilan. Bisa jadi ini karena kesalah pahaman Ki Tembi ketika diberi perintah oleh Pangeran Diponegoro agar memberi nama singlon yang maksudnya adalah nama samaran tetapi singlon malah dijadikan nama panggilan sehingga jadilah nama Raden Mas Singlon atau Bagus Singlon. Sebutan Sodewo diberikan oleh Pangeran Diponegoro karena Raden Mas Singlon berperang laksono dewo atau bagaikan dewa. Jadi Sodewo adalah singkatan dari kata laksono dewo. Gelar Raden Mas ditanggalkan oleh Ki Sodewo dalam penyamaran dan lebih banyak dipanggil Ki (panggilan untuk laki-laki yang dihormati), agar gerakgeriknya tidak diawasi oleh Belanda. Di wilayah Banyumas nama Raden Mas Singlon atau Ki Sodewo lebih dikenal dengan sebutan Demang Notodirjo. Nama Notodirjo pernah dipakai oleh Raden Basyah Abdul Kamil Alibasah yaitu kakak Sentot Prawirodirjo. Raden Basyah Abdul Kamil Alibasah atau Tumenggung Notodirjo adalah suami pertama Raden Ayu Impun puteri Pangeran Diponegoro. Setelah Raden Basyah Abdul Kamil gugur dalam pertempuran, Raden Ayu Basah atau Raden Ayu Impun dinikahi oleh Tumenggung Mertonegoro, sehingga nama puteri Pangeran Diponegoro ini sering dikenal dengan nama Raden Ayu Basah Mertonegoro. Nama Notodirjo sendiri lalu digunakan oleh Raden Mas Singlon sekaligus menggantikan Notodirjo sebelumnya dalam peperangan. Raden Mas Singlon meninggal dalam peperangan sekitar tahun 1860, setelah dijebak oleh saudara seperguruannya Ki Wrekso Sosrobahu. Kepala Ki Sodewo di penggal dan dibawa ke sebuah bukit di Kaliagung, Sentolo Kulon Progo sedangkan tubuhnya di hanyutkan di sungai Serang. Sehari kemudian tubuhnya di temukan oleh seorang pedagang dan di makamkan di sebelah Utara pasar Wates. Sejak tahun 1966 kepala dan jasad tubuh Ki Sodewo telah disatukan dan dimakamkan di Tempat Pemakaman Umum di Sideman, Wates Kulon Progo. Tubuhnya menyatu dalam kedamaian dengan bumi yang dibelanya sampai mati. Tubuhnya menyatu dengan bumi menoreh, sebuah tempat di mana ayahnya pernah dilantik sebagai seorang sultan oleh pengikutnya. Tubuhnya larut dan di bumi para pahlawan di Bumi Menoreh, Kulon Progo. Dari ayahnya, yaitu Pangeran Diponegoro, Raden Mas Sodewo mendapatkan banyak pelajaran yang kemudian oleh Raden Mas Sodewo dirangkum dalam sebuah tembang yang isinya adalah 13 butir pedoman hidup bagi keturunan Raden Mas Sodewo yang biasa disebut dengan Anggerangger (Aturan) Sodewo yang berbunyi : ????½ Kuwajibaning tiyang gesang puniki kedah ngagungaken kaluhuraning budi pekerti, anggadahi raos tepo seliro, kedah patuh mring pemimpin, soho jujur ing samubarang, nindakaken amar makruf nahi mungkar, wantun mbingkas piawon lan kemungkaran kangge njejegaken bebener, ugi suko paring keadilan, tansah nindaaken belo nuso lan bongso, soho pikantuk gemblengan kanuragan, tansah ningkataken iman soho takwa, sumendhe dumateng Allah kanthi semedi utawi maneges dhumateng Hyang Widi. ????½ yang artinya : ????½Kuwajiban sebagai manusia harus mengagungkan sifat luhur dalam budi pekerti, harus taat pada pimpinan , serta jujur dalam segala hal, menjalankan amar makruf nahi mungkar, berani memberantas keburukan dan kejahatan untuk menegakkan kebenaran, juga senang berbuat adil, selalu membela nusa dan bangsa, serta mendapat latihan bela diri, selalu meningkatkan iman dan takwa, berserah diri kepada Allah dengan tafakur atau bermujahadah kepada Yang Maha Esa????½. Angger-angger Sodewo mungkin telah dilupakan oleh masyarakat umum, tetapi bagi keturunan Ki Sodewo tidak akan pernah dilupakan. Angger-Angger Sodewo telah diwariskan secara turun temurun dan menjadi pedoman hidup yang sampai saat ini menjadi warisan yang sangat berarti dan tidak ternilai harganya. Angger-angger Sodewo sendiri sebenarnya adalah sebuah pusaka berupa nasehat yang diterima oleh Raden Mas Sodewo dari ayahnya, yaitu Pangeran Diponegoro. Pemberian pusaka berupa nasehat ini diberikan setelah Raden Mas Sodewo menolak pemberian pusaka berupa keris ataupun tombak. Raden Mas Sodewo merasa sudah memiliki pusaka dari Sultan Hamengkubuwono II ketika mengirimkan bahan bangunan untuk mendirikan sebuah pesanggrahan di dusun Bosol, Giripeni pada tahun 1828 menjelang sultan kedua itu wafat serta sebuah pusaka berupa cambuk atau cemeti milik kakeknya Prawirosentiko. Cambuk atau cemeti tersebut bernama Kyai Guntur. (oleh: Priyo Sularso)

Sumber Informasi:

Disarikan dari data dan penuturan Ki Roni Sodewo (keturunan ke 7 Pangeran Diponegoro) Ketua Paguyuban Trah Pangeran Diponegoro (PATRA PADI) @ Desember 2015